KOPI, TEH DAN JAM
TANGAN
By:
Singgih Dwipantoro
"Saya ulangi lagi ya, lemon
tea satu sama kopi hitam satu" kata pelayan kafe itu.
"Iya" Jawab Anto.
"Ada lagi yang ingin di
pesan?" pelayan itu menanyakan jika ada menu lain yang ingin dipesan Anto
"itu saja dulu, mas"
kata Anto sambil mengembalikan buku menunya.
kaos putih, kemeja biru dongker
dan celana jeans bukan padanan yang spesial memang untuk hari yang penting ini,
tapi Anto yakin itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan, "kita sudah
menjalani banyak hal bersama, susah dan senang bersama, dan kamu tidak pernah
mempermasalahkan style fashionku yang apa adanya." Mata Anto terlihat
merah dan berkantung, memang dia kurang tidur pagi ini dia baru pulang dari
Jakarta mengantarkan murid-muridnya mengikuti lomba murid teladan menggantikan
Pak Samsul guru senior di sekolah tempat Anto mengajar yang mendadak berhalangan karena harus menemani
istrinya melahirkan. Anto hanya sempat mampir sebentar ke kos tadi sekedar
untuk mandi dan mengganti bajunya sebelum berangkat lagi ke kafe itu. Satu
minggu ini Anto banyak disibukkan dengan kegiatan di sekolah mempersiapkan
murid-muridnya untuk mengikuti lomba murid teladan tingkat nasional di Jakarta,
dia bahkan tidak sempat membawa jam tangannya yang rusak 4 hari yang lalu ke
tukang service.
Namanya Ratna, gadis sanguinis
penyuka teh. Anto mengenalnya sejak masa kuliah. Dari sekedar teman saat kerja
kelompok, akhirnya mereka jadian. Tidak ada yang spesial sebenarnya dari diri
Ratna. Dia hanya gadis biasa seperti pada umumnya, Namun entah kenapa berada di
dekatnya dan mendengarkan ceritanya yang seringkali tidak penting bisa membuat
Anto merasa nyaman. Pembawaan Ratna yang ceria dan easy going, membuat tidak
banyak drama yang terjadi dalam hubungan mereka.
Lepas dari kuliah Ratna bekerja
sebagai karyawan di sebuah Bank Swasta di kota Surabaya, sedangkan Anto yang
lulusan Sastra Inggris dia bekerja menjadi seorang guru honorer di sebuah
sekolah swasta di kota yang sama. Dari sisi pendapatan jelas gaji sebagai bank
lebih tinggi daripada gaji seorang guru honorer, tapi Ratna tidak pernah
mempermasalahkan hal itu. dia menerima Anto apa adanya, tanpa menuntut hal yang
macam-macam.
Sudah lewat dari 10 menit dari
waktu yang dijanjikan, sebenarnya itu masih waktu yang wajar bagi seseorang
untuk menoleransi keterlambatan, tapi peristiwa 7 hari yang lalu, mau tidak mau
membuat perasaan Anto menjadi cemas. Relativitas waktu seakan memuai membuat
setiap detik terasa sangat lama.
Satu
minggu sebelumnya tepatnya tanggal 18 April 1992 hari Sabtu Ratna mendatangi tempat
kos Anto. Wajahnya terlihat berbeda dari biasanya, tidak terlihat ekspresi
ceria yang selalu dia perlihatkan selama ini. "Tok, Antok" Panggil
Ratna dari depan kamar kos Antok "Ya Bentar" sahut Anto dari dalam. "Weits,
tumben nih tuan putri sudi mampir ke gubuk hamba sahaya macam saya. hehe... ada
apa nih?" kata Anto setelah membuka pintu kamarnya. Anto berdiri di depan
kamarnya menyambut Ratna dengan baju kebesarannya "kaos singlet."
"Aku
mau ngomong sesuatu Tok." kata Ratna
"Ya
ngomong aja" Sahut Anto menimpali
"Gak
bisa disini, ini penting" Jawab Ratna
"Banget?"
Anto bertanya pada Ratna
"Iya"
Kata Ratna sambil menganggukkan kepalanya
"Ok,
Bentar ya aku mandi dulu" Anto lalu beranjak keluar menuju kamar mandi
yang terletak di ujung lorong tempat kosnya.
Sementara
Anto mandi Ratna duduk di kursi di depan kamar kosnya. Dari situ dia bisa
melihat ke dalam kamar kos Anto yang ditinggal dan dibiarkan terbuka oleh
penghuninya. tidak banyak perabotan yang ada di dalamnya, hanya sebuah meja
kecil, lemari, dan kasur kumal yang ada di lantai. dindingnya dibiarkan kosong,
bahkan sekedar kalendar yang biasa tertempel di dinding pun tidak dia temukan.
"Bentar
ya, ganti baju dulu" kata Anto mengejutkan Ratna yang duduk memandangi
kamar Anto.
"Oh!
Iya" sahut Ratna pendek
Anto
lalu masuk kamar dan menutup pintu kamar sebentar untuk berganti baju. tak
butuh waktu lama bagi Anto untuk membersihkan tubuhnya, dan memang hari itu dia
tidak ingin mandi berlama-lama. Sikap Ratna yang tidak biasa hari itu membuat
Anto bertanya-tanya kira-kira pembicaraan penting apa yang ingin diceritakan
Ratna padanya.
"Sekarang?"
tanya Anto
"Ya!"
Jawab Ratna.
Sebuah kemeja garis-garis warna biru gelap dan
celana kain hitam serta jam tangan butut peninggalan ayahnya menjadi pilihan
Anto hari itu. Mereka lalu berjalan menuju ke parkiran sepeda motor di lantai
satu. Ratna menunggu di luar kos, sementara Anto mengeluarkan sepeda motor
Honda Astrea Prima miliknya. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut
Ratna selama dia di bonceng Anto, menuju kafe tempat mereka biasa bertemu.
Berbagai
pertanyaan muncul dalam benak Anto selama dalam perjalanan itu. Memang selama
mereka berpacaran 6 tahun ini, Anto merasakan bahwa ada banyak perbedaan yang
mencolok antara dirinya dengan Ratna. Dari hal yang sederhana, seperti Anto
yang lebih suka minum kopi dan Ratna yang penggemar teh, sampai fakta bahwa
Ratna jauh lebih aktif, ceria, supel dan pandai beradaptasi
dalam
pergaulan ketimbang Anto. Sedangkan Anto cenderung merupakan pribadi yang keras
kepala, sulit menerima perubahan, dan lebih suka hal-hal yang simple dan
sederhana.Mereka pernah membahas hal ini, dan bersepakat bahwa hubungan yang
mereka jalani saat ini ibaratnya sepasang potongan puzzle yang saling
melengkapi satu sama lain, setelah itu mereka tidak pernah membahas hal itu
lagi dan menjalani hari-hari dengan berusaha saling memahami kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Waktu
berjalan dan tanpa terasa mereka sudah tiba di kafe tempat tujuan mereka. Anto
segera memarkir sepeda motornya, sementara Ratna masuk terlebih dahulu memesan
minuman. secangkir kopi hitam dan lemon tea sudah tersaji di meja ketika Anto
masuk ke dalam kafe tersebut. Jarum jam menunjukkan angka 10 pagi ketika mereka
mulai masuk ke kafe dan duduk berhadapan, samar-samar Anto bisa merasakan ada
sebuah kegundahan yang sangat dalam terpancar dari kedua bola mata Ratna.
"Jadi
ada hal penting apa nih yang mau dibicarakan?" Tanya Anto memulai
percakapan
"Tiga
hari yang lalu aku barusan pulang dari rumah Tok, aku diminta pulang sama
ibuku"
"Trus?"
Tanya Anto
"Ibuku
bilang dia mau menjodohkan aku dengan anak temennya Rudi seorang Dokter lulusan
UI, kemarin aku bertemu anaknya dan dia sudah berniat buat melamarku Tok"
"Blaarrrr"
Hari itu masih musim kemarau tapi petir seakan-akan menyambar dengan kuat
ketika Anto mendengar kalimat itu.
"Kamu...,
Kamu ini lagi bercandakan Rat? Kamu gak cerita tentang hubungan kita dengan
ibumu?"
"Udah!...
Udah! Tok, justru karena itu aku pengin ngomongin ini sama kamu Tok. Ibu minta
kamu buat datang ke rumah Tok, kalau kamu serius sama aku"
"Tapi,
tapi itu gak mungkin Rat, kamu tahu sendiri gajiku sendiri masih seberapa, aku
masih harus nabung Rat"
"Ibuku
gak mempermasalahkan itu Tok."
"Tapi..."
kata-kata Anto terpotong
"
Sabtu malam minggu depan kedua orang tuaku mau datang ke Surabaya bersama mas
Rudi untuk menanyakan jawabanku atas lamarannya"
"Begitu
ya, ya aku paham kok" kata Anto sambil menghela nafas
"Tapi,
aku belum bisa memberi kepastian sekarang Rat, Sabtu pagi ya, sekitar jam
segini? minggu depan kita ketemu lagi di sini ya?" Tanya Anto pada Ratna
"Hmm"
Ratna mengangguk pelan
Jam di dinding kafe menunjukkan
pukul 11.15 sudah satu jam lebih berlalu dari waktu yang dijanjikan tapi Ratna
belum juga muncul, jari tangan Anto merogoh saku celananya mencoba meraba kotak
cincin yang dibelinya kemarin di Jakarta dengan seluruh uang tabungannya.
Sebuah pikiran buruk kini menghantuinya, ketika Ratna tidak kunjung datang ke
kafe itu, mungkinkah dia ingkar janji, dan lebih memilih laki-laki itu. Selama
ini Ratna memang tidak pernah mempermasalahkan pekerjaannya sebagai guru
honorer dengan gaji yang tidak seberapa itu, dan itu membuat Anto tenang, tapi
jujur saja saat Anto sendiri merasa minder ketika dia harus dibandingkan dengan
seorang Dokter lulusan UI.
Lamunan Anto tiba-tiba buyar
ketika mendadak semua orang di dalam kafe tiba-tiba keluar kafe dengan
tergesa-gesa. Anto pun berdiri mengikuti kemana orang-orang itu pergi.
"Ada apa pak?" tanya
Anto kepada seorang pengunjung kafe yang juga ikut keluar
"Ada kecelakaan mas di depan
kafe" jawab pengunjung itu
Anto pun bergegas ikut mendatangi
lokasi kejadian
"Iya, ketabrak truk tadi,
rem blong kayaknya truknya"
samar-samar Anto mendengar
percakapan dari saksi mata yang melihat kejadian langsung
"Iya dia tadi mau nyebrang
jalan, tahu-tahu ada truk nyelonong aja. Kasihan pak yang jadi korbannya wanita muda, cantik lagi"
saksi mata itu melanjutkan keterangannya kepada polisi yang menanyainya
Perasaan Anto seketika berubah
kacau mendengar keterangan dari saksi mata tadi. "Jangan-jangan"
pikiran buruk kini menyeruak di kepala Anto, lebih buruk daripada sebelumnya.
Anto segera bergegas menembus kerumunan orang yang ingin melihat dari tempat
kejadian perkara. "Semoga bukan, semoga bukan, semoga bukan" kata
Anto dalam hati berdoa semoga bukan Ratna yang menjadi korban itu.
Sebuah kelegaan muncul ketika
Anto berhasil menembus kerumunan dan doa Anto terkabul. Wanita yang terkapar
tak bernyawa di jalan itu memang bukan Ratna, namun kelegaan itu hanya
sementara. Sedetik kemudian mata Anto menatap sesosok perempuan yang
dikenalinya berdiri diantara kerumunan orang itu.
"Rat..." suara Anto
tercekat di tenggorokan ketika dia menyadari tangan Ratna menggenggam erat
tangan seorang laki-laki tampan yang berpakaian necis di sebelahnya. Sesaat
kemudian mata mereka beradu, Ratna tampak terkejut ketika dia melihat Anto
disana. cukup lama bertatapan satu sama lain, sebelum kemudian Ratna mengangguk
dan tersenyum kepada Anto lalu berpaling dan mengajak laki-laki berpakaian necis
itu pergi meninggalkan Anto tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Langkah Anto terlihat gontai ketika
dia berjalan masuk kembali ke kafe. Tidak pernah terbayang sedikit pun dalam benak
bahwa dia akan melihat Ratna menggenggam tangan laki-laki lain selain dirinya. Tidak
pernah terbayang juga di diri Anto bahwa Ratna bisa melakukan perbuatan ini padanya.
Wajahnya kini kosong menatap kopi hitam yang tersisa setengah di depannya. sesaat
kemudian Anto lalu melambaikan tangannya kepada pelayan kafe.
"Ya, mas, mau pesen apalagi?"
Tanya pelayan kafe itu
"Oh! Nggak, mas. Mau minta billnya"
Jawab Anto sambil berusaha untuk tersenyum
"Ouwh! Temennya gak jadi datang
mas?"
"Iya mas" jawab Anto singkat
"Hmm..." Pelayan itu bergumam
pelan
"Emang kenapa mas?" Tanya
Anto
"Oh! Gak pa pa mas, cuma kayak
De Javu aja. Kemarin seinget saya juga ada pelanggan yang pesen minuman yang persis
sama kayak ini, katanya dia juga lagi nungguin seseorang, cuma orang yang ditunggu
sampai sore gak muncul-muncul. Kasihan mas, apalagi yang nunggu cewek"
"Kemarin?" Tanya Anto keheranan.
"Emang sekarang hari apa mas?"
"Sekarang hari Minggu mas, 26
April 1992"
- The End -
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com